Jumat, 04 Januari 2013

The Health Benefits Of Music

Just found this picture that explain some benefits of hearing music :


The Health Benefits of Music
by HealthCentral.Browse more data visualization.


source : http://catatantepimalam.wordpress.com/2013/01/02/musik-itu-sehat/

Selasa, 27 November 2012

Jari-Jari Ajaib Victor Wooten

Jika ditanya siapa pemain bass favorit saya, seringkali saya perlu waktu agak lama untuk berpikir, karena ternyata memang tidak sedikit. Nama-nama seperti Billy Sheehan, John Myung, Stu Hamm, Flea, Geddy Lee, Mark King, Thomas GIGI, Bondan Prakoso, Indro Hardjodikoro, Arya Setiadi, adalah gerombolan bassist yang saya kagumi permainannya. Tapi setelah cukup lama bersemedi meminta petunjuk dan petuah serta wangsit, maka nama yang muncul sebagai bassist yang paling saya favoritkan adalah Victor Wooten.


Victor Wooten bukanlah nama asing, terutama untuk para bassist atau penggemar Jazz. Tapi jika ada yang belum pernah mendengar nama dan permainannya, coba disimak dulu dua video yang saya ambil dari youtube ini :




Saya rasa, Victor Wooten memiliki seluruh kemampuan yang diperlukan untuk menjadi bassist yang lengkap. Dia sangat groovy, soulful, memiliki tangan kiri yang cepat, tangan kanan yang sempurna, pembuat bassline yang enak, teknik slap tingkat tinggi yang sangat rumit, tapping dua tangan yang luar biasa, sound perkusif yang beatfull, artikulasi tegas dan jelas, arranger yang hebat, pemain band yang kompak, sekaligus solois yang sangat menghibur. Dan diatas itu semua, meskipun Victor Wooten adalah musisi besar, dia tetap rendah hati.

Lahir sebagai anak bungsu dari keluarga Wooten yang memang musisi, Victor diajari bermain bass oleh kakaknya ketika usia nya baru dua tahun. Di usia lima tahun, Victor sudah bergabung di band keluarga, dan di usia enam tahun sudah ikut tur sebagai band pembuka artis soul legendaris, Curtis Mayfield. Kini, Victor Wooten adalah pemenang 5 Grammy Awards, satu-satunya bassist peraih tiga kali gelar Bassist Of The Year oleh majalah Bass Player, dan termasuk dalam Top Ten Bass Player Of All Time versi majalah Rolling Stone di tahun 2011.

Di tahun  2008, Victor bergabung bersama dua bassist legendaris lainnya, yaitu Stanley Clarke dan Marcus Miller, membentuk band yang diberi nama SMV, dan merilis album yang diberi judul "Thunder".


Jika banyak Bass-Hero yang menggunakan bass dengan senar 5 atau 6 atau lebih, Victor tampak lebih sering menggunakan bass senar 4. Merk bass yang paling sering dipakai adalah Fodera, dengan signature series nya : 1983 Monarch Deluxe dan Yin-Yang.


Fodera 1983 Monarch Deluxe

Fodera Yin Yang


===========
Sumber :
http://www.victorwooten.com/bio.html
http://en.wikipedia.org/wiki/Victor_Wooten

Minggu, 28 Oktober 2012

My Little Expectation On Tasya

I have a childhood, and it aint bad at all.

Banyak hal dari masa kecil yang memorinya tetap terbawa hingga waktu yang lama, salah satunya adalah kenangan musikal. Tentu saja kita melihat musik secara berbeda ketika usia kita bertambah, tapi ada beberapa diantaranya yang ikut berubah, tapi dengan garis merah sama, karena berisikan orang-orang yang sama dengan beberapa tahun lalu.

Satu orang yang paling mengejutkan saya adalah Bondan Prakoso. Saya ingat ketika meminta secara paksa pada orangtua saya album Si Lumba-Lumba nya Bondan Prakoso sepulang saya nonton sirkus lumba-lumba, dan tidak dituruti. Waktu itu saya masih SD. Selang beberapa tahun, ketika saya SMA, ada band fenomenal yang jadi bahan pembicaraan di kalangan anak band karena musiknya yang sangat funky, dengan diselingi akrobat oleh semua player nya. Band itu adalah Funky Kopral. Di band ini, si bassist adalah personil yang paling banyak mendapat sorotan karena kekuatan skill dan warna permainannya, dan ternyata dia adalah Bondan. Yak, si Bondan Lumba-Lumba itu!!! Dia sukses mentransformasikan bakat seninya dari penyanyi cilik menjadi musisi mumpuni. The same person, the same fame, the same success, but different image.

Bondan Kecil

Selain Bondan Prakoso, ada dua nama lagi yang sangat terkenal di masa kecilnya, dan kemudian meraih sukses yang sama (bahkan lebih) ketika dia tidak kecil lagi. Mereka adalah :

1. Agnes Monica

Agnes Monica dan Eza Yayang

Memulai karir sebagai penyanyi cilik sekaligus presenter, Agnes kecil memiliki kesan centil dan enerjik. Lalu lihatlah sekarang, Agnes adalah role model seorang pekerja keras yang fokus dan konsisten. Bisa dibilang pada dasarnya Agnes tidak dianugerahi bakat alami yang istimewa, good but not great, namun keinginan kerasnya mampu perlahan-lahan membawanya meraih semua mimpi. Agnes adalah aktris, dancer, bintang iklan, model, presenter, dan penyanyi yang mulai memasuki sukses internasional.


2. Sherina


Pertama kali muncul, Sherina langsung begitu mencengangkan. Sebagai penyanyi cilik, Sherina memiliki kemampuan vokal yang sangat berbeda dengan teman-teman sebayanya. Sherina memiliki bakat bernyanyi yang berteknik tinggi yang selevel dengan penyanyi profesional dewasa. Saat itu, Sherina adalah fenomena. Beberapa tahun berlalu, Sherina saat ini kembali tetap dengan kualitas musikalitasnya, bahkan dengan warna yang lebih mendalam. Sherina adalah penyanyi, penulis lagu, dan komposer. Sherina membawa image baru yang sama sekali tidak menyisakan karakter anak-anaknya. Dia tidak terjebak dengan popularitas masa lalu, dan berhasil mengembangkan bakatnya untuk kemudian diaktualisasikan dalam bentuk yang sangat up to date. Sherina adalah contoh bakat besar yang well-managed.

Nhah, sekarang waktunya kita membahas hal yang sejalan dengan judul yang saya tulis. Sesungguhnya, Indonesia bisa punya another 3 Diva, yang semuanya terdiri dari mantan artis cilik sukses yang kemudian meraih sukses setelah berubah image di masa dewasanya. Saya punya nama ketiga. Or at least, saya berharap nama ketiga ini bisa melengkapi 3 Diva itu.

Dia adalah : Tasya Kamila.

Tasya Kecil

Tasya adalah salah satu nama besar di masa kecilnya. Siapa yang tidak ingat lagu "Gembira Berkumpul", "Paman Datang", "Anak Gembala", dan "Libur Tlah Tiba"? Tasya mewakili sosok anak kecil yang diidam-idamkan semua Ibu di Indonesia. Lucu, imut, berani, ceria, polos, cantik, dan terkenal. Saat ini, Tasya adalah seorang mahasiswi, namun banyak yang merasa Tasya masihlah anak gembala yang sama seperti di video klipnya. Padahal Tasya sudah berubah menjadi remaja yang sangat cantik dan memiliki kapasitas intelektual yang mumpuni. Buktinya, dia adalah Mahasiswi Akuntansi di salah satu perguruan tinggi terbaik di negeri ini.

Namun, meskipun secara fisik (dan make up) sudah berubah image, Tasya belum sepenuhnya berhasil mengubah image karirnya dari seorang penyanyi cilik menjadi artis remaja atau dewasa yang memiliki karya baru yang bagus, bukan hanya mengandalkan reputasi lama saja.

Tasya Kamila - kapanlagi.com

Sebenarnya, bukan hanya Tasya yang belum berhasil lepas dari bayang-bayang ketenaran masa lalu. Sebut saja Joshua, Dea Ananda, Leony, Eno Lerian, dan Maisy. Meskipun masih dikenal hingga sekarang, karya mereka di usia dewasa tidaklah sebesar sewaktu mereka masih kecil.

Tasya pun begitu. Belum benar-benar membuktikan diri mampu menjadi artis yang diakui keberadaannya lebih dari gelar mantan artis cilik. Berbagai jalan telah ditempuhnya di dunia keartisan semasa remaja. Yang terbaru adalah dengan menerbitkan sebuah album yang seperti sebuah deklarasi bahwa Tasya bukan lagi si Anak Gembala. Tekad itu disampaikan melalui judul albumnya, "Beranjak Dewasa". Lalu kemudian, seberapa dewasakah album dewasa nya?

Album Tasya - Beranjak Dewasa


Dari covernya, sangat terlihat bawa Tasya indeed adalah wanita dewasa. Dari lagunya, album ini berisi 12 lagu yang ternyata di dukung oleh musisi-musisi kenamaan Indonesia, seperti Erwin Bragi, Dewiq, Tohpati, Ade Govinda, dan Sandy Canester. Ada juga satu lagu yang merupakan ciptaan Tasya sendiri, berjudul "Kau Pergi Saja". Menurut saya, satu lagu yang paling mewakili perubahan image nya menjadi penyanyi remaja yang beranjak dewasa adalah track terakhirnya, "Beranjak Dewasa". Memang liriknya masih menyiratkan bahwa Tasya "masih muda", namun aransemen dan cara bernyanyi Tasya terasa lebih sesuai umurnya. Di lagu-lagu lain, Tasya berusaha menyajikan tema-tema yang tidak lagi anak-anak, namun sayangnya karakter vokal Tasya entah mengapa masih tidak jauh berubah dari karakter si anak gembala. Begitu juga dengan teknik vokal yang belum istimewa, pengucapan "R" yang lucu seperti anak kecil yang baru melemaskan lidahnya, dan pemenggalan suku kata yang masih terdengar imut.

Tasya masih berusaha keluar dari belenggu lama, dan entah kenapa saya menyukainya. Ada harapan kecil yang menunggu Tasya bisa berbuat sesuatu dan kembali menjadi artis papan atas Indonesia dengan image baru yang sesuai dengan dirinya, dan kemudian ditulis oleh banyak media seperti : "Tasya, mantan artis cilik yang kembali sukses di masa remaja (dan dewasa) nya". Tasya memiliki bekal yang lebih dari cukup : cerdas, cantik, dan dikenal. Selebihnya adalah bagaimana caranya mengembangkan dan menyesuaikan diri. Mungkin bisa seperti BCL yang tidak berteknik tinggi namun berkarakter kuat didukung lagu-lagu yang cocok. Atau dengan berlatih intensif meningkatkan kemampuan teknik vokal sehingga bisa lebih luwes dalam membawakan tema-tema yang sedikit lebih berbobot. Or any other surprising unexpected things.

Well, Tasya, sebagai fans, saya menunggu.

:D

Senin, 17 September 2012

Musik Cemen

Ingatan saya tiba-tiba terbang ke masa-masa awal SMA. Waktu itu muncul sebuah band yang meledak dengan lagu-lagunya yang sangat easy listening dan terkesan simpel, sehingga oleh para kritikus (baik yang beneran maupun yang karbitan) sempat dianggap sebagai grup band yang cemen. Well, okay, saya termasuk diantaranya... Waktu itu...

Band itu adalah Sheila On 7. 

Ketika banyak penikmat musik yang menilai kualitas musik melulu dari skill pemain dan kerumitan memainkan komposisinya, wajar apabila SO7 yang tiba-tiba muncul dan meledak dianggap sebagai indikasi kemunduran kualitas musikalitas pasar Indonesia. SO7 terlalu ngepop, terlalu mainstream, terlalu pasaran, terlalu cemen. Terlebih jika dibandingkan dengan beberapa nama besar kala itu seperti Slank, Dewa 19, dan GIGI. Penggemar SO7 dianggap sebagai (jika menggunakan istilah sekarang) ababil, dan pembenci SO7 dianggap keren dan berselera tinggi. Saya termasuk yang terikut arus itu... Waktu itu...

Lagu-lagu SO7 tidak terdiri dari chord dan progresi chord yang ribet, dan mudah dimainkan baik dengan gitar ataupun sing along. Beat drum nya juga tidak ada yang aneh, lirik sederhana, bass line lempeng-lempeng saja, nyaris tidak ada yang membuat SO7 gemilang secara skill bermusik. Kehausan mendengarkan musik-musik berkualitas, tentunya dengan standar masing-masing, seperti terasa diobati dengan segalon air laut. Semakin haus saja.

Saya sedikit mengrenyitkan dahi ketika kemudian membaca bahwa dulunya Eros adalah gitaris festival yang beberapa kali meraih predikat gitaris terbaik. Artinya, seharusnya Eros ini bukan gitaris abal-abal. Tapi, kenapa dia membuat lagu-lagu yang seperti ini? Itu adalah pertanyaan awal yang saya rasa mulai mengubah pandangan saya tentang musik.

Saya mulai memahami sedikit tentang sebuah nuansa. Bahwa ada kerumitan dalam menghasilkan sebuah musik yang terdengar sederhana. Bahwa emosi kita bisa terbawa oleh aura yang dihasilkan oleh sebuah karya musik. Bahwa menikmati musik berkualitas bukan hanya dilihat dari skill yang dimainkan saja, tapi juga oleh nuansa yang dihasilkan. Saya mulai menemukan sesuatu yang menarik dibalik ke"cemen"an Sheila On 7 ini. Padahal sebenarnya sudah banyak sekali penghargaan yang diraih SO7 dari berbagai pihak sebagai bentuk apresiasi atas karya mereka. Mungkin saja selama ini saya telah salah.

Tidak lama kemudian muncul lagi sebuah band yang ternyata kemudian dianggap lebih cemen daripada SO7. Band itu adalah Radja. Kemunculan Radja mengundang banyak cibiran, bahkan mampu menggusur SO7 sebagai bahan cemoohan utama. Saking (dianggap) cemennya, Radja membuat SO7 menjadi band berkelas. Meskipun begitu, Radja tetap melaju pesat dan terhitung sensasional karena penjualan album dan RBT nya yang laku keras. Termasuk yang tertinggi di Indonesia kala itu.

Radja lantas seperti naik kelas ketika muncul Kangen Band. Band ini muncul dengan lagu, sound, karakter suara, aksi panggung, dan dandanan yang lebih parah dari Radja. Memang para personilnya memiliki latar belakang ekonomi yang tidak bisa dibilang tinggi, dan itu menambah nilai jual mereka sebagai sebuah band cinderella. Kritikan yang terus mengalir deras, bahkan mungkin hingga sekarang, tidak menyurutkan langkah mereka untuk terus menciptakan lagu yang memang terbilang sangat laku dijual, dan berimbas pada membaiknya kondisi ekonomi para personilnya. Dengan gamblang mereka berkata, bahwa mereka bermusik untuk cari uang. Bukan sebuah pandangan yang salah. Sangat realistis.

Ternyata kemudian ada lagi sensasi baru yang lagi-lagi mengundang cemoohan. Sensasi baru ini langsung membuat Radja dan Kangen menjadi sangat bergengsi, paling tidak karena mereka benar-benar bermain band. Yak, sensasi itu adalah demam BOYBAND. SM*SH yang muncul secara tiba-tiba dan langsung meledak menjadi idola para ABG adalah sekumpulan cowok-cowok berumur belasan yang banyak dan menari-nari dengan mulut komat-kamit seperti bernyanyi. Seringkali memang mereka tidak benar-benar bernyanyi.

Tentu saja dibalik semua kebencian itu, musisi-musisi "cemen" itu juga memiliki fanbase yang besar, terbukti dengan meledaknya lagu-lagu, dan melonjaknya popularitas mereka. Jadi sebenarnya, seberapa cemen pun para kritikus memberikan penilaian, tetap saja ada karya yang mereka hasilkan dan disukai banyak orang. Selalu ada hal menarik yang bisa dinikmati dan dipelajari dari karya seni apapun. Masalah akhirnya suka atau tidak, kembali lagi ke selera.

Sekarang saya bisa menikmati musik yang dihasilkan nama-nama yang tadi saya sebut, meskipun tetap ada yang suka dan ada yang biasa saja. Dan rasanya, tidak perlu harus mencemenkan karya musik apapun, karena seberapapun cemennya, mereka bisa berkarya, dan ada yang menikmatinya. Lha saya? Cuma komentator yang cuma pintar mengeluarkan kata-kata.

Saya tidak berhenti mencari musik-musik berkualitas dari Indonesia yang memang berlimpah itu, tapi semua jenis musikpun justru akan memperkaya tawaran musik yang akhirnya akan kembali ke penikmat untuk menyaringnya. Orang bilang cemen? Well, pasti ada cara untuk menikmatinya. Pasti ada kualitas, entah dari sudut pandang mana. Atau malah, bagi musisi, bisa jadi tantangan untuk bisa memainkan lagu itu dengan aransemen yang lebih sesuai selera. Yang jelas, cemen-isasi makin berkurang drastis dari pandangan saya saat ini.

Malahan, saya semakin tidak mengerti apa yang dimaksud dengan musik cemen.

Senin, 23 April 2012

Oleh-Oleh Dari Konser Dream Theater

Setelah menunggu sekian lama, penggemar Dream Theater di Indonesia akhirnya terpuaskan dengan jalannya konser mereka tanggal 21 April 2012 lalu, di Mata Elang International Stadium (MEIS), Ancol, Jakarta. Awalnya, pelaksanaan konser ini diiringi kekecewaan banyak penggemar yang menganggap harga tiket konser ini terlalu mahal untuk ukuran grup rock, dan mekanisme penjualan yang berubah-ubah. Mungkin karena pihak promotor yang kurang pengalaman. Namun bagaimanapun juga, Dream Theater adalah legend di kalangan penggemar musik Rock, terutama Rock Progressive, sehingga kedatangannya tidak bisa dilewatkan begitu saja.

Benar saja, sekitar 4 jam sebelum gate MEIS dibuka, para penonton sudah antri di depan pintu, karena tidak ingin melewatkan kesempatan mendapatkan tempat sedekat mungkin dengan Dream Theater. Ketika gate benar-benar dibuka sekitar jam 19.00, membludaklah para penggemar yang sudah tidak sabar ke gedung MEIS yang belum jadi 100% itu. Karena membludaknya penonton itu, pihak panitia mengalami kesulitan untuk mengecek isi tas para penonton, sehingga banyak minuman dan alat perekam, yang tadinya dilarang untuk dibawa, lolos masuk ke ruang konser. Saya jadi sedikit kecewa tidak membawa kamera yang layak. Saya hanya mengandalkan kamera hape yang sayang sekali tidak banyak membantu karena pencahayaan yang kurang oke.

Konser diawali sekitar jam 20.15, dengan menampilkan artis pembuka, Andy McKee. Nama ini mungkin terasa cukup asing, namun penampilannya cukup memukau. Andy McKee adalah gitaris akustik yang unik, karena memperlakukan gitarnya sebagai penghasil rhytm, melodi, dan perkusi sekaligus. Dia memainkan gitar dengan memetik, strumming, tapping, slap, pop, dan memukul body gitarnya. Membawakan lima lagu, Andy McKee mengaku sangat bangga bisa menjadi bagian dari konser Dream Theater karena ini merupakan mimpinya sejak dulu. Andy McKee juga kemudian menjadi kru panggung Dream Theater. Untuk anda yang belum kenal Andy McKee, silakan menikmati video dari youtube ini :

Andy McKee - Drifting

Setelah Andy McKee merampungkan performanya, kru panggung segera menata ulang panggung untuk kepentingan show Dream Theater. Sekali lagi terasa kekurangprofesionalan panitia atau siapapun yang bertanggungjawab dalam hal ini, karena persiapan transisi ini dilakukan secara jelas di depan penonton yang sudah tidak sabar ingin menyaksikan main dishes di acara ini. Set up akhir, penurunan backdrop, dan setting posisi alat dilakukan dengan lampu yang terang benderang tanpa tertutup apapun. Agak disayangkan karena makin mengesankan konser yang biasa-biasa saja, tidak spektakuler. Kurang layak untuk konser yang tiket festival dengan harga presale-nya saja mencapai 850 ribu.

Namun, segala penantian panjang dengan segala kekurangan itu terbayar lunas ketika Dream Theater tampil.

Dimulai dengan pemutaran video intro konser di monitor backdrop yang berbentuk tiga kubus diiringi intro "Dreams are Collapsing", penonton mulai bersorak ketika satu persatu personil Dream Theater naik ke atas panggung. Lagu pertama yang menjadi pembuka konser ini adalah "Bridges In The Sky" dari album baru mereka, dilanjutkan berturut-turut dengan "6:00", "Build Me Up, Break Me Down", "Surrounded", dan "The Roots Of All Evil". Dengan setting panggung yang ditambah dua layar besar (ada yang bilang empat, tapi saya tidak menyadarinya) di kanan dan kiri, menampilkan masing-masing personil dengan lebih jelas, termasuk detil setup milik Mangini dan Rudess yang tidak bisa dilihat jelas dari tempat penonton.

Konser ini sekaligus menjadi momen perkenalan bagi Mike Mangini yang menggantikan salah satu founding father Dream Theater, yaitu Mike Portnoy. Menjadi pengganti dari seorang drummer legend dengan kharisma luar biasa seperti Portnoy tentu bukan hal yang mudah. Mangini tentu saja perlu hal-hal besar lainnya untuk bisa bahkan hanya untuk berada sejajar saja. Oke, Mangini memang sudah menjadi worldclass drummer, tapi sebagai bagian dari legendary rock band? Nanti dulu.

Setelah Dream Theater memainkan lima lagu, Mangini yang diperkenalkan sebagai "Fine Gentleman" oleh LaBrie ini melakukan aksi solo drum yang cukup panjang. Solo drum yang ditunjukkan Mangini sangat khas, memiliki benang merah yang sama dengan banyak video solo lainnya di youtube. Mangini memamerkan keahliannya dalam memainkan rudiment yang sangat teknikal dengan sangat canggih, terutama single stroke nya yang sangat cepat dan dilakukan sempurna baik tangan kanan maupun kiri secara individual, dan teknik dobel pedal nya yang menakjubkan. Ga heran, karena dia adalah profesor di Berklee, dan pemegang rekor dunia single stroke terbanyak dalam satu menit. Hiperbolanya, apa yang bisa dilakukan drummer-drummer hebat dengan tangannya, Mangini akan mampu melakukan hal yang sama, dengan satu tangan. Benar-benar solo drum yang excelent, tapi bukan favorit saya, karena saya lebih suka menikmati solo drum yang groovy dengan menyisipkan teknik tinggi tanpa harus off-beat. Ilmu saya masih terlalu jauh untuk mampu menikmati solo drum Mangini ini.

Setup drum Mangini menjadi hal yang sangat menarik malam itu. Jika Portnoy suka menumpuk setupnya secara mendatar sekitar badannya, Mangini banyak menyusun peralatannya hingga di atas kepala. Susunan ini mengingatkan saya pada Bozzio's Monster yang pernah saya kagumi beberapa tahun lalu, meskipun setup Mangini tidak serumit itu.

Dream Theater kemudian kembali menghentak lewat dua lagu yang tak kalah luar biasa, yaitu "A Fortune In Lies" dari album pertama, dan "Outcry" dari album terbaru. Dilanjutkan dengan sesi romantis (dari sisi musikal, bukan lirik), ketika LaBrie menyanyikan "The Silent Man" dan "Beneath The Surface" yang diiringi Petrucci dengan gitar akustik, dengan dibantu Rudess. Kembali ke sesi fullband, Dream Theater memainkan pertunjukan utama malam itu, yaitu hits dari album terbaru DT (A Dramatic Turn Of Events), yaitu "On The Back Of Angels". Dimulai dengan intro akustik dan ditambah aksesoris oleh Rudess dari iPad-nya, lagu ini terasa sangat megah. "War Inside My Head" dan "The Test That Stumped Them All" menjadi lagu selanjutnya, kemudian dilanjutkan dengan "Spirit Carries On" yang sukses mengajak mayoritas penonton untuk bernyanyi bersama dan melambaikan tangan secara serempak. Konser ini "ditutup" dengan lagu "Breaking All Illusions" dari album baru, dan disudahi LaBrie dengan salam "That's the end of the show". Namun karena terasa mengganjal, maka para penonton berteriak serempak "We Want More" supaya para pemain Dream Theater segera kembali ke panggung untuk memainkan lagu terakhir yang sebenarnya sebagai encore. Benar saja, tidak lama kemudian semua personil naik ke panggung dan membawakan "Pull Me Under" dengan sangat enerjik. Setelah lagu ini berakhir, para personil Dream Theater berputar-putar sebentar di panggung untuk memberikan salam, lalu kemudian berpelukan bersama membungkukkan badan sebagai salute kepada penonton, dan kemudian benar-benar menghilang dari atas panggung. Konserpun selesai.

Secara keseluruhan konser ini bisa dibilang cukup sukses, meskipun banyak kekurangan di sana sini. Seandainya dihandle oleh promotor yang lebih berpengalaman, maka status ke-epic-an konser Dream Theater mungkin akan bisa lebih besar lagi. Kekurangan yang terasa paling besar adalah masalah sound. Entah karena setting suara atau akustik gedung, seringkali suara terdengar pecah. Kelemahan paling parah adalah sound bass John Myung yang menghilang entah kemana, dan sound bass drum Mangini yang juga kurang menghentak.

Walaupun demikian, keberhasilan promotor mendatangkan Dream Theater ke Indonesia, dan hadir langsung untuk menyaksikan konser mereka membuat saya sangat puas. Dengan ini saya sudah bisa menyatakan pernah melihat langsung kualitas skill dewa para personil Dream Theater yang luar biasa, dan menyaksikan sosok Mike Mangini yang jadi tokoh utama kali ini dengan segala kapasitasnya. Mungkin sedikir overpriced, tapi kepuasan luar biasa bisa menggantikan beberapa kekecewaan tadi. Sekarang saya jadi tidak sabar untuk menunggu album Dream Theater selanjutnya, karena saya merasa karakter Mike Mangini akan keluar lebih baik dan lebih utuh disana.

Sebagai penutup, ini adalah beberapa foto yang diambil oleh salah seorang kaskuser, agan "oceansoul", atas seijin beliau :

Andy McKee

John Myung

James LaBrie & John Petrucci

Jordan Rudess

Mike Mangini dengan setup drum di belakangnya

Selasa, 17 April 2012

Boyband, Joyful Or Boring?

A boy band (or boyband) is loosely defined as a popular music act consisting of only male singers. The members are expected to dance as well as sing, usually giving highly choreographed performances. More often than not, boy band members do not play musical instruments, either in recording sessions or on stage, and only sing and dance, making the term somewhat of a misnomer. However, exceptions do exist. In many cases boy bands are brought together by a producer through an audition process, although many of them form on their own. (taken from : http://en.wikipedia.org/wiki/Boyband)

Saya setuju dengan apa kata wikipedia tentang istilah boyband, yang menurut saya misnomer, atau ada kesalahan dalam penggunaan istilah. Jika dipahami secara gramatikal, maka boy artinya cowok muda, dan band bermakna beberapa orang yang memainkan alat musik secara bersama-sama. Kenyataannya? Boyband (dan juga Girlband) memunculkan beberapa orang dengan dandanan fashionable dan koreografi tertentu yang menyanyikan lagu tanpa memainkan alat musik.

Saya tidak pernah membenci boyband, meskipun bukan penggemar berat nya. Ketika smp dulu, saya suka banget sama If You Were Mine-nya Bed & Breakfast. Mungkin inilah lagu boyband pertama yang saya suka. Saya juga sering mendengarkan Backstreet Boys karena pengaruh sepupu cewe yang ngefans berat, dan waktu SMA telinga saya terasa sangat penuh disesaki lagu-lagu Westlife yang waktu itu menggema dimana-mana, dan sangat sering dibahas di kelas oleh temen-temen cewek saya. Saya juga tahu Trio Libels, ME, Cool Colors yang juga berjaya pada jamannya.

 (If You Were Mine - Bed & Breakfast, taken from youtube)
(perhatiin rambutnya)

Bagi saya, boyband tidak buruk. Saya juga tidak setuju kalau boyband dibilang cemen. Mungkin memang ada beberapa boyband yang tidak mempunyai kualitas yang cukup baik, tapi kalau melihat Backstreet Boys dan Take That, saya tidak berani bilang bahwa (secara general) boyband itu buruk. Buat saya, yang jadi ukuran utama kualitas boyband adalah vokal. Jika kualitas vokalnya bagus, tapi penampilan standar dan kemampuan dance biasa saja, masih cocok untuk dibilang boyband. Akan jadi sangat salah ketika personil boyband tidak bisa menyanyi, sehebat apapun kemampuan lainnya. Jika dance nya doang yang handal, lebih cocok jadi dancer. Jika penampilan doang yang menarik, mending jadi model aja.


Boyband Sesungguhnya

Buat saya, dari yang pernah saya lihat, Boyband paling ideal adalah The Dance Company. Dilihat dari kualitas vokalnya, siapa yang menyangsikan performa mereka? Baim dulunya adalah frontman Ada Band, Pongki adalah leader Jikustik, Nugie punya album trilogi dan sering perform bersama Alv Band, dan Ariyo sempat muncul bersama SOG dan merilis album solo, meskipun kemudian lebih sering muncul sebagai aktor. Sebagai mantan frontman, karakter masing-masing sudah terbentuk sangat kuat, selain didukung look yang fashionable. Kharisma mereka menjadi sangat menonjol ketika tampil dalam wawancara ataupun dialog, karena kemampuan berkomunikasi yang sangat handal, plus dibumbui celetukan jenaka yang sangat menghibur dan nyaris bisa disebut sebagai komedian. Selain bernyanyi, di beberapa performance mereka berempat juga menyajikan koreografi yang menarik meskipun sederhana. Dan yang paling penting dari semuanya, mereka memainkan alat musik!!!!

Di posisi yang sudah absolut, tentu saja Baim sebagai gitaris. Di awal-awal munculnya, Ada band sangat identik dengan gitaris-vokalis gondrong yang sangat nge-rock ini. Di The Dance Company, jelas tidak ada yang mampu memainkan gitar lebih baik daripada Baim, meskipun Baim adalah seorang multi-instrumentalis yang juga mampu memainkan drum, bass, keyboard, dan biola. Klip ini bercerita lebih banyak tentang itu :

(Sewaktu Kau Disisiku - Baim, taken from youtube)

Nugie diberi jatah memainkan drum, dan Pongki sebagai bassist. Ariyo, yang menurut saya berkarakter suara paling lemah, mengisi posisi sebagai lead vokal.

Empat vokalis ternama yang juga penulis lagu hits, dengan personality kharismatis dan menyenangkan, bergabung untuk bernyanyi bersama sekaligus memainkan alat musik, dengan diselingi koreografi sederhana, maka sempurnalah mereka sebagai sebuah Boyband di mata saya.

So, kembali ke judul, apakah boyband menyenangkan atau membosankan? Saya menikmati beberapa di antaranya, bahkan beberapa diantaranya kadang dinyanyiin waktu karaoke. Tidak banyak memang, tapi yang sedikit itu malah cukup memorable. Saat ini boyband memang sedang jadi trend, toh ga lama lagi juga bakal ilang. Ketika sudah dibawa enjoy dan kemudian bosan, kemungkinan saat itu boyband sudah tidak lagi jadi trend, dan muncul trend baru yang akan kembali muncul jadi fenomena. Jika ada boyband yang terus bertahan, so we can call them real musicians. Joyful or boring? Its just a cycle...

Senin, 05 Maret 2012

My First Java Jazz Ever

- I Finally had my first Java Jazz ever -



Nonton Java Jazz itu udah jadi obsesi sejak jaman kuliah. Sayang sekali kala itu kantong saya lebih cocok untuk dialokasikan ke menu makan siang seminggu. Atau lebih. Pas udah kerja, berhubung tidak di pulau yang sama, Java Jazz juga masih jadi angan-angan. Nah, berhubung tahun ini semua kondisi sudah memungkinkan, apalagi ditambah Invitation dari aganwati Nita @nitnitha dengan hanya mengganti separuh harga tiket resmi via web (thanks so much for this), maka Java Jazz Dreams finally came true. Daily Pass dapet hari minggu, karena jumat masih masuk kantor dan sabtu udah full booked. Sayang sekali, saya berangkat sendiri, sodara-sodara. Saya ulangi, SENDIRI. Bini kurang suka nonton konser yang crowded dan hectic, meskipun ada twilite dan beberapa orkestra lain yang jadi favoritnya. Temen-temen sekantor kayanya ga ada yang berangkat. Pengumuman via twitter dan facebook gagal menjaring partner. Ada beberapa temen yang dateng, tapi hari sabtu. Well, dengan semangat tetap membara, saya berangkat dengan riang gembira dan suka cita. Tanpa partner memang bikin nonton kurang seru, dan ga bisa potrat potret sana sini, tapi kelebihannya adalah saya bebas memilih siapa saja lineup yang saya tonton, dan bebas berekspresi, mau teriak, nyanyi, loncat, (dan bahkan) nangis, tanpa banyak yang menghiraukan. Dengan berbekal sebuah kamera poket, saya siap menikmati acara ini.

 The Invitation

Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, termasuk tweet dari pengunjung yang udah hadir sebelumnya, agak susah beli makan di dalam PRJ, karena harus menggunakan kartu prepaid dari BNI yang katanya paling murah 100rb dengan harga kartu 20ribu. Beli kartu nya ngantri, jika mau top up juga ngantri, beli makan pun ngantri lagi (dan tidak murah). Karena itu sebelum menuju PRJ, saya mampir restoran padang untuk me re-charge kenyang-meter saya hingga level cukup tinggi. Membawa makanan dari luar memang tidak dibolehkan panitia. Sebelum memasuki area PRJ, tiap pengunjung digeledah tasnya dengan cara yang sopan. Meskipun begitu, masih ada saja makanan yang bisa diselundupkan dengan sukses. Bisa ditaruh di dalem tas kamera, bisa di bawah pasmina, bisa di tas kecil, terserah kreatifitas masing-masing. Saya sendiri tidak terlalu memusingkan tentang makanan. Nonton konser sambil makan juga ga asik. Yang penting masuk dalam keadaan kenyang. Info lain mengatakan bahwa sinyal XL kurang bersemangat di PRJ, tapi alhamdulillah sinyal AS yang saya gunakan tidak ada masalah. Uang cash juga saya siapkan seperlunya, sebagai antisipasi pembelian satu dua merchandise Java Jazz yang menarik. Tapi tidak perlu kuatir juga, karena di dalam area PRJ banyak sekali ATM yang bisa digunakan, terutama BNI yang merupakan sponsor resmi.

 Suasana pintu masuk Java Jazz ketika siang

Saya dateng di PRJ Kemayoran sekitar 13.40, dengan artis paling awal terjadwal jam 14.30. Karena pegangnya Undangan instead of tiket biasa, pintu masuk nya harus lewat Gate K. Gate masih tertutup, antrian mulai ada meskipun ga panjang. Nunggu gate dibuka sambil berdiri sendirian ( !!! ) dan ngelihat kanan kiri pada ngobrol seru plus ada yang gandeng-gandeng dan peluk-peluk plus poto-poto agak bikin eh oh juga. Sekitar 14.30 kurang dikit gate mulai dibuka, undangan diganti gelang, dan here we go. Excitement saya termasuk agak berlebihan dan sedikit norak, mengingat obsesi Java Jazz yang udah lama, akhirnya bisa terwujud. Segera saya cari itu yang namanya Streamline Quartet di Java Jazz Stage. Ga perlu lama nyari, Java Jazz Stage langsung ketemu begitu keluar dari gedung utama. Dengan formasi drum, gitar, contra bass, dan piano, cukup oke untuk membuka hari yang masih sepi karena belum banyak yang dateng. Diiringi gerimis yang syahdu, ini pertanda bahwa Java Jazz Festival day 3 is officially on.

 Antrian Gate K

 Wristband tanda masuk

Streamline Quartet

Setelah menyimak tiga lagu, saya langsung menuju venue incaran saya pertama. Sebenarnya agak bimbang dalam memilih ini, karena Twilite Orchestra dan Sujiwo Tejo tampil di jam yang sama, dengan jarak yang berjauhan. Akhirnya saya memutuskan dateng ke Twilite dulu, karena ga jauh dari Java Jazz Stage itu. Ketika saya masuk ke gedung A2, penonton belum banyak. Konser pun belum dimulai, malah masih ada cek sound dari panggung sebelah yang rencananya mau dipake sama Barry White Show & The Pleasure Unlimited Orchestra. Molor sekitar 10 menit dari jadwal, Twilite membuka konser dengan komposisi pembuka yang megah dan elegan. Penonton yang menunggu sambil duduk pun segera beranjak berdiri dan merapat ke depan. Komposisi pembuka ini sangat sukses untuk menghangatkan suasana. Di lagu kedua, Addie MS mengundang seorang pemain harmonika berusia 14 tahun yang bernama Rega. Twilite kemudian memainkan sebuah komposisi yang sendu dan mengharukan, dengan sentuhan harmonika yang menyayat hati. Saya pun sampai secara tidak sadar memejamkan mata saking terhanyutnya. Setelah Rega, Addie mengajak Sandy Sondhoro ke panggung untuk menyanyikan satu lagu, lalu juga mengundang Sierra Sutedjo setelahnya. Di lagu inilah, saya meninggalkan venue A2 untuk menuju venue salah satu tokoh idola saya yang lain, Sujiwo Tejo.

Twilite Orchestra

Sujiwo Tejo

Venue Sujiwo Tejo ada di lantai 6 gedung utama, sehingga memakan waktu cukup lama ketika berpindah. Tapi tampaknya momen saya pas banget, karena ketika saya datang, pas ketika Sujiwo Tejo bercerita tentang lagu barunya yang berjudul "Jancuk". Ini adalah single terbaru si dalang "kafir" mantan mahasiswa ITB yang ada di album barunya. Tidak lama kemudian, lagu yang sangat 'menarik' ini dibawakan secara santai. Saya bilang menarik karena judul lagu ini bisa memiliki makna bermacam-macam. Secara umum, Jancuk adalah kata makian, terutama digunakan di Jawa Timur. Namun bagi penggunanya, terutama masyarakat Surabaya, Jancuk bisa menjadi lambang keakraban. Sujiwo Tejo mengatakan bahwa Jancuk is not Fucking at all. Setelah Jancuk, Sujiwo Tejo menyanyikan lagunya yang paling terkenal, Anyam-Anyaman Nyaman, lalu ditutup dengan Titi Kala Mangsa. Hanya tiga lagu yang sempat saya tonton, agak sayang memang, tapi cukup untuk menikmati karya si mbah presiden jancukers ini. Sebagai apresiasi tambahan, saya juga membeli CD terbarunya si mbah yang berhadiah kaos. Atau kaos yang berhadiah CD ya? Entahlah, yang jelas menurut saya ini sangat layak untuk dibeli.

CD-nya si mbah

Kaos Bonus-nya CD


Keluar dari venue Sujiwo Tejo, saya langsung menuju target utama saya hari ini. TRIO LESTARI. Saya penasaran dengan performa trio ini, karena referensi yang sangat sedikit di internet. Sebagaimana kita tahu, Trio Lestari adalah formasi trio yang terdiri dari solois-solois cowo terkemuka Indonesia. Sebagai penyanyi solo, Glenn Fredly, Tompi, dan Sandhy Sondhoro jelas merupakan nama besar dan menjanjikan performa menawan. Tapi dalam formasi trio, kelebihan apa yang ditawarkan? Masuk ke gedung Kemendag 20 menit sebelum jadwal, saya harus puas berada di deretan belakang, karena ternyata yang mengantri udah bejibun. Setelah menunggu beberapa menit, histeria penonton meledak ketika dimunculkan slide foto-foto Trio Lestari ketika latihan. Penonton seketika berdiri dan merangsek maju, meski belum ada satu performer pun yang naik ke panggung. Di momen-momen padat seperti inilah saya bersyukur dam benar-benar merasakan enaknya jadi orang yang ga pendek, karena mata saya bebas memandang ke panggung. Mungkin juga diiringi dengan umpatan dalam hati orang-orang di belakang saya yang tertutup kepala saya. Penampilan mereka dimulai dengan encore instrumental dari band. Yang paling menarik perhatian saya adalah yang ada di belakang, drummer paling happening di Indonesia saat ini, Echa Soemantri. Sejak nonton video di youtube sekitar tahun 2008, saya sangat menyukai gayanya bermain drum. Echa selalu sukses menghiasi lagu-lagu yang dimainkannya dengan ornamen-ornamen pukulan berteknik tinggi, menjadikan lagu itu tetap enak dengan hiasan yang meriah dan tidak norak. Menurut saya, seperti inilah drummer yang paling ideal. Lagu pembuka ini diselingi dengan suara Glenn, Tompi, dan Shandy yang memperkenalkan para pegawai band nya. Hanya suara. Orangnya belum nongol.

Trio Lestari belum mulai, pengunjung udah padet

Performer pertama adalah Tompi yang menyanyikan Menghujam Jantungku. Lagu ini termasuk 'lagu wajib' Tompi bersama Echa, menyisakan space yang sangat luas untuk dieksplorasi semua pemain, terutama drum. Beat nya juga mengundang goyang. Benar-benar lagu panggung. Tompi membuka dengan dua lagu, diselingi beberapa monolog santai dan kocak yang kebanyakan berisi olok-olok kepada Glenn, dan sedikit tentang Sandhy. Materi utama Tompi ketika mocking Glenn adalah : Duda!! Setelah Tompi, giliran Glenn yang muncul dengan dua lagu galaunya. Menurut Glenn, porsinya memang diharuskan untuk galau-isasi. "Tega" dan "Terserah" memang tidak cukup mengundang goyang, tapi benar-benar menunjukkan kapasitas Glenn sebagai salah satu penyanyi pria paling handal di negeri ini. Di antara dua lagu itu, Glenn membalas candaan Tompi. Bahan utama Glenn adalah : pendek!!! Giliran Sandhy Sondoro, dia membawakan "Lenggak-Lenggok Jakarta" dan "Malam Biru" yang dahsyat untuk menutup sesi solo. Merasa sebagai yang paling newbie, Sandhy tidak banyak bicara, apalagi membalas olokan. Di bagian akhir lagu Malam Biru inilah, Tompi dan Glenn ikut naik ke atas panggung sebagai pertanda bahwa sesi trio akan dimulai.

Trio Lestari (Sandhy Sondoro, Glenn Fredly, Tompi)

Di sesi Trio inilah, saya makin memahami konsep Trio Lestari secara lebih utuh. Awalnya saya berpikir, sebagai solois, nama mereka sudah kuat. Sebagai "boyband", mereka nanggung. Lalu maunya apa? Nah, setelah menyimak apa yang mereka tampilkan, pertanyaan ini cukup terjawab. Pertama, tentang nama. Rasanya, seperti yang juga mereka akui, nama "Lestari" terdengar kurang cowok, bahkan agak ngondek. Mereka coba menjelaskan maknanya, tapi entah mengapa saya tetap kurang menangkap esensi nya. Ketika mereka mulai mengedarkan kotak amal ke penonton, saya berpikir bahwa mereka berniat untuk melestarikan sesuatu, tapi nampaknya kotak amal itu tidak berhubungan dengan alam, meskipun sepertinya itu benar-benar kotak amal yang nantinya akan disalurkan secara benar. Artis besar, masa sih bakal nilep duit "receh"? Kedua, humor. Mereka bertiga benar-benar enjoy di panggung. Saling bercanda satu sama lain, didukung dengan tampilan gambar di layar seperti tentang parodi gambar yang ringan sebuah rumah karaoke dan jamu yang menampilkan wajah mereka. Di bagian ini, mereka nyaris seperti pelawak yang ada musiknya. Cukup berbeda secara signifikan dibanding musisi yang mencoba bercanda. Ketiga, pendekatan trend. Glenn beberapa kali menggunakan istilah twitter dan BBM yang tentu saja hanya dipahami penggunanya. Begitu juga tentang besarnya perhatian mereka pada "Galau". Sebagai kata paling gaul saat ini, galau sangat sering disebut. Bahkan Glenn membuat sebuah lagu yang disebut "Mars Galau", sebuah lagu berirama patriotik yang isinya tentang (apalagi kalau bukan) galau. Keempat, kritik politis dan sosial. Dalam candaan mereka, ada pula sindiran kepada pemerintah dan kondisi negara ini. Contohnya ketika mereka menyanyikan lagu lama yang diciptakan Dian Permana Putra dan Dedhy Dukun yang berjudul "Bohong", di layar ditampilkan foto beberapa tokoh Indonesia yang sedang terjerat kasus korupsi, seperti Angelina Sondakh, Nazarudin, dan Melinda Dee. Diteruskan pula dengan sindiran-sindiran tentang ke-"prihatin"-an.

Yang saya tangkap adalah, mereka sadar bahwa sebagai penyanyi dengan karakter kuat, masing-masing memiliki basis fans yang besar meskipun cukup segmented. Di saat yang sama, mereka adalah pemuda Indonesia (ceilah...) yang menyadari bahwa ada yang harus diperbaiki di negeri ini. Nhah, dalam porsi mereka sebagai artis itulah, mereka berusaha mengajak para fans nya untuk ikut concern kepada hal tersebut, dan bergerak sama-sama menuju perbaikan. Saya sendiri cukup menikmati konsep mereka ini. Lebih dari sekedar konsep musik biasa. Namun rasanya masih banyak yang bisa di eksplor dari konsep ini seperti musikalisasi kritik yang lebih berisi dan lebih padat secara musikal. Karena bagaimanapun juga, tujuan utama penonton datang ke konser mereka adalah untuk menikmati musik. Tapi so far, performa live Trio Lestari dan Echa Soemantri dkk sangat memuaskan.

Keluar dari venue Trio Lestari, saya mampir di venue sebelah yang menampilkan KLA Project. Dan ya, venue ini juga sangat penuh. Ga heran karena yang perform adalah sebuah band legendaris yang pernah merajai dunia musik Indonesia dengan lagu-lagu romantis nya. Karena venue yang penuh, dan saya sendiri yang bukan pengemar berat KLA Project, maka saya memutuskan untuk meninggalkan venue itu.

KLA Project

Keluar dari KLA Project, jam menunjukkan pukul 18.00 kurang dikit. Setelah kepuasan maksimal menyaksikan Trio Lestari dan melihat daftar lineup artis yang saya bawa, entah mengapa saya kurang antusias untuk melanjutkan petualangan di venue yang lain. Ditambah faktor sendirian (!!!) dan bini yang nunggu di rumah (juga) sendirian, akhirnya saya memutuskan untuk mengakhiri kunjungan Java Jazz kali ini. Java Jazz pertama saya, memuaskan keinginan yang telah terpendam bertahun-tahun. Kemungkinan besar tahun depan saya bakal kembali, jika kondisi masih memungkinkan, dengan planning yang lebih oke lagi. See ya next year, Java Jazz.