Senin, 17 September 2012

Musik Cemen

Ingatan saya tiba-tiba terbang ke masa-masa awal SMA. Waktu itu muncul sebuah band yang meledak dengan lagu-lagunya yang sangat easy listening dan terkesan simpel, sehingga oleh para kritikus (baik yang beneran maupun yang karbitan) sempat dianggap sebagai grup band yang cemen. Well, okay, saya termasuk diantaranya... Waktu itu...

Band itu adalah Sheila On 7. 

Ketika banyak penikmat musik yang menilai kualitas musik melulu dari skill pemain dan kerumitan memainkan komposisinya, wajar apabila SO7 yang tiba-tiba muncul dan meledak dianggap sebagai indikasi kemunduran kualitas musikalitas pasar Indonesia. SO7 terlalu ngepop, terlalu mainstream, terlalu pasaran, terlalu cemen. Terlebih jika dibandingkan dengan beberapa nama besar kala itu seperti Slank, Dewa 19, dan GIGI. Penggemar SO7 dianggap sebagai (jika menggunakan istilah sekarang) ababil, dan pembenci SO7 dianggap keren dan berselera tinggi. Saya termasuk yang terikut arus itu... Waktu itu...

Lagu-lagu SO7 tidak terdiri dari chord dan progresi chord yang ribet, dan mudah dimainkan baik dengan gitar ataupun sing along. Beat drum nya juga tidak ada yang aneh, lirik sederhana, bass line lempeng-lempeng saja, nyaris tidak ada yang membuat SO7 gemilang secara skill bermusik. Kehausan mendengarkan musik-musik berkualitas, tentunya dengan standar masing-masing, seperti terasa diobati dengan segalon air laut. Semakin haus saja.

Saya sedikit mengrenyitkan dahi ketika kemudian membaca bahwa dulunya Eros adalah gitaris festival yang beberapa kali meraih predikat gitaris terbaik. Artinya, seharusnya Eros ini bukan gitaris abal-abal. Tapi, kenapa dia membuat lagu-lagu yang seperti ini? Itu adalah pertanyaan awal yang saya rasa mulai mengubah pandangan saya tentang musik.

Saya mulai memahami sedikit tentang sebuah nuansa. Bahwa ada kerumitan dalam menghasilkan sebuah musik yang terdengar sederhana. Bahwa emosi kita bisa terbawa oleh aura yang dihasilkan oleh sebuah karya musik. Bahwa menikmati musik berkualitas bukan hanya dilihat dari skill yang dimainkan saja, tapi juga oleh nuansa yang dihasilkan. Saya mulai menemukan sesuatu yang menarik dibalik ke"cemen"an Sheila On 7 ini. Padahal sebenarnya sudah banyak sekali penghargaan yang diraih SO7 dari berbagai pihak sebagai bentuk apresiasi atas karya mereka. Mungkin saja selama ini saya telah salah.

Tidak lama kemudian muncul lagi sebuah band yang ternyata kemudian dianggap lebih cemen daripada SO7. Band itu adalah Radja. Kemunculan Radja mengundang banyak cibiran, bahkan mampu menggusur SO7 sebagai bahan cemoohan utama. Saking (dianggap) cemennya, Radja membuat SO7 menjadi band berkelas. Meskipun begitu, Radja tetap melaju pesat dan terhitung sensasional karena penjualan album dan RBT nya yang laku keras. Termasuk yang tertinggi di Indonesia kala itu.

Radja lantas seperti naik kelas ketika muncul Kangen Band. Band ini muncul dengan lagu, sound, karakter suara, aksi panggung, dan dandanan yang lebih parah dari Radja. Memang para personilnya memiliki latar belakang ekonomi yang tidak bisa dibilang tinggi, dan itu menambah nilai jual mereka sebagai sebuah band cinderella. Kritikan yang terus mengalir deras, bahkan mungkin hingga sekarang, tidak menyurutkan langkah mereka untuk terus menciptakan lagu yang memang terbilang sangat laku dijual, dan berimbas pada membaiknya kondisi ekonomi para personilnya. Dengan gamblang mereka berkata, bahwa mereka bermusik untuk cari uang. Bukan sebuah pandangan yang salah. Sangat realistis.

Ternyata kemudian ada lagi sensasi baru yang lagi-lagi mengundang cemoohan. Sensasi baru ini langsung membuat Radja dan Kangen menjadi sangat bergengsi, paling tidak karena mereka benar-benar bermain band. Yak, sensasi itu adalah demam BOYBAND. SM*SH yang muncul secara tiba-tiba dan langsung meledak menjadi idola para ABG adalah sekumpulan cowok-cowok berumur belasan yang banyak dan menari-nari dengan mulut komat-kamit seperti bernyanyi. Seringkali memang mereka tidak benar-benar bernyanyi.

Tentu saja dibalik semua kebencian itu, musisi-musisi "cemen" itu juga memiliki fanbase yang besar, terbukti dengan meledaknya lagu-lagu, dan melonjaknya popularitas mereka. Jadi sebenarnya, seberapa cemen pun para kritikus memberikan penilaian, tetap saja ada karya yang mereka hasilkan dan disukai banyak orang. Selalu ada hal menarik yang bisa dinikmati dan dipelajari dari karya seni apapun. Masalah akhirnya suka atau tidak, kembali lagi ke selera.

Sekarang saya bisa menikmati musik yang dihasilkan nama-nama yang tadi saya sebut, meskipun tetap ada yang suka dan ada yang biasa saja. Dan rasanya, tidak perlu harus mencemenkan karya musik apapun, karena seberapapun cemennya, mereka bisa berkarya, dan ada yang menikmatinya. Lha saya? Cuma komentator yang cuma pintar mengeluarkan kata-kata.

Saya tidak berhenti mencari musik-musik berkualitas dari Indonesia yang memang berlimpah itu, tapi semua jenis musikpun justru akan memperkaya tawaran musik yang akhirnya akan kembali ke penikmat untuk menyaringnya. Orang bilang cemen? Well, pasti ada cara untuk menikmatinya. Pasti ada kualitas, entah dari sudut pandang mana. Atau malah, bagi musisi, bisa jadi tantangan untuk bisa memainkan lagu itu dengan aransemen yang lebih sesuai selera. Yang jelas, cemen-isasi makin berkurang drastis dari pandangan saya saat ini.

Malahan, saya semakin tidak mengerti apa yang dimaksud dengan musik cemen.