Senin, 05 Maret 2012

My First Java Jazz Ever

- I Finally had my first Java Jazz ever -



Nonton Java Jazz itu udah jadi obsesi sejak jaman kuliah. Sayang sekali kala itu kantong saya lebih cocok untuk dialokasikan ke menu makan siang seminggu. Atau lebih. Pas udah kerja, berhubung tidak di pulau yang sama, Java Jazz juga masih jadi angan-angan. Nah, berhubung tahun ini semua kondisi sudah memungkinkan, apalagi ditambah Invitation dari aganwati Nita @nitnitha dengan hanya mengganti separuh harga tiket resmi via web (thanks so much for this), maka Java Jazz Dreams finally came true. Daily Pass dapet hari minggu, karena jumat masih masuk kantor dan sabtu udah full booked. Sayang sekali, saya berangkat sendiri, sodara-sodara. Saya ulangi, SENDIRI. Bini kurang suka nonton konser yang crowded dan hectic, meskipun ada twilite dan beberapa orkestra lain yang jadi favoritnya. Temen-temen sekantor kayanya ga ada yang berangkat. Pengumuman via twitter dan facebook gagal menjaring partner. Ada beberapa temen yang dateng, tapi hari sabtu. Well, dengan semangat tetap membara, saya berangkat dengan riang gembira dan suka cita. Tanpa partner memang bikin nonton kurang seru, dan ga bisa potrat potret sana sini, tapi kelebihannya adalah saya bebas memilih siapa saja lineup yang saya tonton, dan bebas berekspresi, mau teriak, nyanyi, loncat, (dan bahkan) nangis, tanpa banyak yang menghiraukan. Dengan berbekal sebuah kamera poket, saya siap menikmati acara ini.

 The Invitation

Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, termasuk tweet dari pengunjung yang udah hadir sebelumnya, agak susah beli makan di dalam PRJ, karena harus menggunakan kartu prepaid dari BNI yang katanya paling murah 100rb dengan harga kartu 20ribu. Beli kartu nya ngantri, jika mau top up juga ngantri, beli makan pun ngantri lagi (dan tidak murah). Karena itu sebelum menuju PRJ, saya mampir restoran padang untuk me re-charge kenyang-meter saya hingga level cukup tinggi. Membawa makanan dari luar memang tidak dibolehkan panitia. Sebelum memasuki area PRJ, tiap pengunjung digeledah tasnya dengan cara yang sopan. Meskipun begitu, masih ada saja makanan yang bisa diselundupkan dengan sukses. Bisa ditaruh di dalem tas kamera, bisa di bawah pasmina, bisa di tas kecil, terserah kreatifitas masing-masing. Saya sendiri tidak terlalu memusingkan tentang makanan. Nonton konser sambil makan juga ga asik. Yang penting masuk dalam keadaan kenyang. Info lain mengatakan bahwa sinyal XL kurang bersemangat di PRJ, tapi alhamdulillah sinyal AS yang saya gunakan tidak ada masalah. Uang cash juga saya siapkan seperlunya, sebagai antisipasi pembelian satu dua merchandise Java Jazz yang menarik. Tapi tidak perlu kuatir juga, karena di dalam area PRJ banyak sekali ATM yang bisa digunakan, terutama BNI yang merupakan sponsor resmi.

 Suasana pintu masuk Java Jazz ketika siang

Saya dateng di PRJ Kemayoran sekitar 13.40, dengan artis paling awal terjadwal jam 14.30. Karena pegangnya Undangan instead of tiket biasa, pintu masuk nya harus lewat Gate K. Gate masih tertutup, antrian mulai ada meskipun ga panjang. Nunggu gate dibuka sambil berdiri sendirian ( !!! ) dan ngelihat kanan kiri pada ngobrol seru plus ada yang gandeng-gandeng dan peluk-peluk plus poto-poto agak bikin eh oh juga. Sekitar 14.30 kurang dikit gate mulai dibuka, undangan diganti gelang, dan here we go. Excitement saya termasuk agak berlebihan dan sedikit norak, mengingat obsesi Java Jazz yang udah lama, akhirnya bisa terwujud. Segera saya cari itu yang namanya Streamline Quartet di Java Jazz Stage. Ga perlu lama nyari, Java Jazz Stage langsung ketemu begitu keluar dari gedung utama. Dengan formasi drum, gitar, contra bass, dan piano, cukup oke untuk membuka hari yang masih sepi karena belum banyak yang dateng. Diiringi gerimis yang syahdu, ini pertanda bahwa Java Jazz Festival day 3 is officially on.

 Antrian Gate K

 Wristband tanda masuk

Streamline Quartet

Setelah menyimak tiga lagu, saya langsung menuju venue incaran saya pertama. Sebenarnya agak bimbang dalam memilih ini, karena Twilite Orchestra dan Sujiwo Tejo tampil di jam yang sama, dengan jarak yang berjauhan. Akhirnya saya memutuskan dateng ke Twilite dulu, karena ga jauh dari Java Jazz Stage itu. Ketika saya masuk ke gedung A2, penonton belum banyak. Konser pun belum dimulai, malah masih ada cek sound dari panggung sebelah yang rencananya mau dipake sama Barry White Show & The Pleasure Unlimited Orchestra. Molor sekitar 10 menit dari jadwal, Twilite membuka konser dengan komposisi pembuka yang megah dan elegan. Penonton yang menunggu sambil duduk pun segera beranjak berdiri dan merapat ke depan. Komposisi pembuka ini sangat sukses untuk menghangatkan suasana. Di lagu kedua, Addie MS mengundang seorang pemain harmonika berusia 14 tahun yang bernama Rega. Twilite kemudian memainkan sebuah komposisi yang sendu dan mengharukan, dengan sentuhan harmonika yang menyayat hati. Saya pun sampai secara tidak sadar memejamkan mata saking terhanyutnya. Setelah Rega, Addie mengajak Sandy Sondhoro ke panggung untuk menyanyikan satu lagu, lalu juga mengundang Sierra Sutedjo setelahnya. Di lagu inilah, saya meninggalkan venue A2 untuk menuju venue salah satu tokoh idola saya yang lain, Sujiwo Tejo.

Twilite Orchestra

Sujiwo Tejo

Venue Sujiwo Tejo ada di lantai 6 gedung utama, sehingga memakan waktu cukup lama ketika berpindah. Tapi tampaknya momen saya pas banget, karena ketika saya datang, pas ketika Sujiwo Tejo bercerita tentang lagu barunya yang berjudul "Jancuk". Ini adalah single terbaru si dalang "kafir" mantan mahasiswa ITB yang ada di album barunya. Tidak lama kemudian, lagu yang sangat 'menarik' ini dibawakan secara santai. Saya bilang menarik karena judul lagu ini bisa memiliki makna bermacam-macam. Secara umum, Jancuk adalah kata makian, terutama digunakan di Jawa Timur. Namun bagi penggunanya, terutama masyarakat Surabaya, Jancuk bisa menjadi lambang keakraban. Sujiwo Tejo mengatakan bahwa Jancuk is not Fucking at all. Setelah Jancuk, Sujiwo Tejo menyanyikan lagunya yang paling terkenal, Anyam-Anyaman Nyaman, lalu ditutup dengan Titi Kala Mangsa. Hanya tiga lagu yang sempat saya tonton, agak sayang memang, tapi cukup untuk menikmati karya si mbah presiden jancukers ini. Sebagai apresiasi tambahan, saya juga membeli CD terbarunya si mbah yang berhadiah kaos. Atau kaos yang berhadiah CD ya? Entahlah, yang jelas menurut saya ini sangat layak untuk dibeli.

CD-nya si mbah

Kaos Bonus-nya CD


Keluar dari venue Sujiwo Tejo, saya langsung menuju target utama saya hari ini. TRIO LESTARI. Saya penasaran dengan performa trio ini, karena referensi yang sangat sedikit di internet. Sebagaimana kita tahu, Trio Lestari adalah formasi trio yang terdiri dari solois-solois cowo terkemuka Indonesia. Sebagai penyanyi solo, Glenn Fredly, Tompi, dan Sandhy Sondhoro jelas merupakan nama besar dan menjanjikan performa menawan. Tapi dalam formasi trio, kelebihan apa yang ditawarkan? Masuk ke gedung Kemendag 20 menit sebelum jadwal, saya harus puas berada di deretan belakang, karena ternyata yang mengantri udah bejibun. Setelah menunggu beberapa menit, histeria penonton meledak ketika dimunculkan slide foto-foto Trio Lestari ketika latihan. Penonton seketika berdiri dan merangsek maju, meski belum ada satu performer pun yang naik ke panggung. Di momen-momen padat seperti inilah saya bersyukur dam benar-benar merasakan enaknya jadi orang yang ga pendek, karena mata saya bebas memandang ke panggung. Mungkin juga diiringi dengan umpatan dalam hati orang-orang di belakang saya yang tertutup kepala saya. Penampilan mereka dimulai dengan encore instrumental dari band. Yang paling menarik perhatian saya adalah yang ada di belakang, drummer paling happening di Indonesia saat ini, Echa Soemantri. Sejak nonton video di youtube sekitar tahun 2008, saya sangat menyukai gayanya bermain drum. Echa selalu sukses menghiasi lagu-lagu yang dimainkannya dengan ornamen-ornamen pukulan berteknik tinggi, menjadikan lagu itu tetap enak dengan hiasan yang meriah dan tidak norak. Menurut saya, seperti inilah drummer yang paling ideal. Lagu pembuka ini diselingi dengan suara Glenn, Tompi, dan Shandy yang memperkenalkan para pegawai band nya. Hanya suara. Orangnya belum nongol.

Trio Lestari belum mulai, pengunjung udah padet

Performer pertama adalah Tompi yang menyanyikan Menghujam Jantungku. Lagu ini termasuk 'lagu wajib' Tompi bersama Echa, menyisakan space yang sangat luas untuk dieksplorasi semua pemain, terutama drum. Beat nya juga mengundang goyang. Benar-benar lagu panggung. Tompi membuka dengan dua lagu, diselingi beberapa monolog santai dan kocak yang kebanyakan berisi olok-olok kepada Glenn, dan sedikit tentang Sandhy. Materi utama Tompi ketika mocking Glenn adalah : Duda!! Setelah Tompi, giliran Glenn yang muncul dengan dua lagu galaunya. Menurut Glenn, porsinya memang diharuskan untuk galau-isasi. "Tega" dan "Terserah" memang tidak cukup mengundang goyang, tapi benar-benar menunjukkan kapasitas Glenn sebagai salah satu penyanyi pria paling handal di negeri ini. Di antara dua lagu itu, Glenn membalas candaan Tompi. Bahan utama Glenn adalah : pendek!!! Giliran Sandhy Sondoro, dia membawakan "Lenggak-Lenggok Jakarta" dan "Malam Biru" yang dahsyat untuk menutup sesi solo. Merasa sebagai yang paling newbie, Sandhy tidak banyak bicara, apalagi membalas olokan. Di bagian akhir lagu Malam Biru inilah, Tompi dan Glenn ikut naik ke atas panggung sebagai pertanda bahwa sesi trio akan dimulai.

Trio Lestari (Sandhy Sondoro, Glenn Fredly, Tompi)

Di sesi Trio inilah, saya makin memahami konsep Trio Lestari secara lebih utuh. Awalnya saya berpikir, sebagai solois, nama mereka sudah kuat. Sebagai "boyband", mereka nanggung. Lalu maunya apa? Nah, setelah menyimak apa yang mereka tampilkan, pertanyaan ini cukup terjawab. Pertama, tentang nama. Rasanya, seperti yang juga mereka akui, nama "Lestari" terdengar kurang cowok, bahkan agak ngondek. Mereka coba menjelaskan maknanya, tapi entah mengapa saya tetap kurang menangkap esensi nya. Ketika mereka mulai mengedarkan kotak amal ke penonton, saya berpikir bahwa mereka berniat untuk melestarikan sesuatu, tapi nampaknya kotak amal itu tidak berhubungan dengan alam, meskipun sepertinya itu benar-benar kotak amal yang nantinya akan disalurkan secara benar. Artis besar, masa sih bakal nilep duit "receh"? Kedua, humor. Mereka bertiga benar-benar enjoy di panggung. Saling bercanda satu sama lain, didukung dengan tampilan gambar di layar seperti tentang parodi gambar yang ringan sebuah rumah karaoke dan jamu yang menampilkan wajah mereka. Di bagian ini, mereka nyaris seperti pelawak yang ada musiknya. Cukup berbeda secara signifikan dibanding musisi yang mencoba bercanda. Ketiga, pendekatan trend. Glenn beberapa kali menggunakan istilah twitter dan BBM yang tentu saja hanya dipahami penggunanya. Begitu juga tentang besarnya perhatian mereka pada "Galau". Sebagai kata paling gaul saat ini, galau sangat sering disebut. Bahkan Glenn membuat sebuah lagu yang disebut "Mars Galau", sebuah lagu berirama patriotik yang isinya tentang (apalagi kalau bukan) galau. Keempat, kritik politis dan sosial. Dalam candaan mereka, ada pula sindiran kepada pemerintah dan kondisi negara ini. Contohnya ketika mereka menyanyikan lagu lama yang diciptakan Dian Permana Putra dan Dedhy Dukun yang berjudul "Bohong", di layar ditampilkan foto beberapa tokoh Indonesia yang sedang terjerat kasus korupsi, seperti Angelina Sondakh, Nazarudin, dan Melinda Dee. Diteruskan pula dengan sindiran-sindiran tentang ke-"prihatin"-an.

Yang saya tangkap adalah, mereka sadar bahwa sebagai penyanyi dengan karakter kuat, masing-masing memiliki basis fans yang besar meskipun cukup segmented. Di saat yang sama, mereka adalah pemuda Indonesia (ceilah...) yang menyadari bahwa ada yang harus diperbaiki di negeri ini. Nhah, dalam porsi mereka sebagai artis itulah, mereka berusaha mengajak para fans nya untuk ikut concern kepada hal tersebut, dan bergerak sama-sama menuju perbaikan. Saya sendiri cukup menikmati konsep mereka ini. Lebih dari sekedar konsep musik biasa. Namun rasanya masih banyak yang bisa di eksplor dari konsep ini seperti musikalisasi kritik yang lebih berisi dan lebih padat secara musikal. Karena bagaimanapun juga, tujuan utama penonton datang ke konser mereka adalah untuk menikmati musik. Tapi so far, performa live Trio Lestari dan Echa Soemantri dkk sangat memuaskan.

Keluar dari venue Trio Lestari, saya mampir di venue sebelah yang menampilkan KLA Project. Dan ya, venue ini juga sangat penuh. Ga heran karena yang perform adalah sebuah band legendaris yang pernah merajai dunia musik Indonesia dengan lagu-lagu romantis nya. Karena venue yang penuh, dan saya sendiri yang bukan pengemar berat KLA Project, maka saya memutuskan untuk meninggalkan venue itu.

KLA Project

Keluar dari KLA Project, jam menunjukkan pukul 18.00 kurang dikit. Setelah kepuasan maksimal menyaksikan Trio Lestari dan melihat daftar lineup artis yang saya bawa, entah mengapa saya kurang antusias untuk melanjutkan petualangan di venue yang lain. Ditambah faktor sendirian (!!!) dan bini yang nunggu di rumah (juga) sendirian, akhirnya saya memutuskan untuk mengakhiri kunjungan Java Jazz kali ini. Java Jazz pertama saya, memuaskan keinginan yang telah terpendam bertahun-tahun. Kemungkinan besar tahun depan saya bakal kembali, jika kondisi masih memungkinkan, dengan planning yang lebih oke lagi. See ya next year, Java Jazz.